Senin, 25 Juni 2012

Respon Imun


2.1 Sistem Pertahanan Tubuh
            Sistem pertahanan tubuh vertebrata, khususnya manusia memiliki mekanisme pertahanan berlapis. Jika patogen masuk ke dalam tubuh, sistem pertahanan tubuh yang berlapis akan segera bekerja.
                        Sistem pertahanan tubuh terdiri atas tiga garis pertahanan. Garis pertahanan pertama terdiri atas kulit, membran mukosa, serta hasil sekresi dari kulit dan membran mukosa. Garis pertahanan kedua terdiri atas sel darah putih fagositik, protein antimikroba, dan respon peradangan. Adapun garis pertahanan ketiga terdiri dari limfosit dan antibodi. Garis pertahanan pertama dan kedua dikelompokkan ke dalam sitem pertahanan tubuh nonspesifik, sedangkan garis pertahanan ketiga termasuk sistem pertahanan tubuh spesifik (Brum, et al., 1994:644).
            2.1.1 Sistem Pertahanan Tubuh Nonspesifik
            Garis pertahanan pertama pada sistem pertahanan nonspesifik dikenal juga dengan istilah sistem pertahanan nonspesifik eksternal. Sementara itu, garis pertahanan kedua dikenal juga dengan sistem pertahanan nonspesifik internal.

      1.   Pertahanan Tubuh Nonspesifik Eksternal
        Pertahanan pertama pada tubuh manusia dan hewan menggunakan integument atau penutup tubuh. Pada manusia, yang dimaksud dengan integument adalah kulit dan membran mukosa. Pertahanan pertama ini berperan penting dalam menahan benda asing seperti bakteri. Selain itu, kulit mengeluarkan minyak dan keringat yang mengandung asam dan garam dengan pH berkisar antara 3-5. Kondisi ini dapat membunuh bakteri atau setidaknya mencegah banyaknya kolonisasi mikroorganisme di permukaan kulit.
     Pada permukaan saluran pernapasan, usus, sistem ekskresi, dan sistem reproduksi terdapat lapisan lender (mukus). Selain berperan sebagai pelindung secara fisik, membran mukosa juga mengekskresikan mukus yang mampu membunuh mikroorganisme yang membahayakan tubuh. Mikroorganisme yang masuk bersama makanan atau minuman, akan terbunuh oleh air liur (saliva) yang mengandung protein anti mikroba. Salah satu jenis proteinnya adalah lisozim. Apabila mikroorganisme sampai masuk ke dalam lambung maka akan menghadapi lingkungan asam pada lambung. Asam akan membunuh banyak mikroorganisme sebelum masuk ke dalam usus.
            Pada usus besar terdapat banyak bakteri E. coli yang hidup bersimbiosis dengan manusia. Keberadaan bakteri ini akan menjadi pesaing utama dalam memperoleh nutrisi bagi mikroorganisme pendatang baru.

            2.         Pertahanan Tubuh Nonspesifik Internal
            Garis pertahanan pertama tubuh berupa kulit dan membran mukosa mungkin saja dapat ditembus oleh mikroorganisme. Apabila pertahanan pertama dapat ditembus mikroorganisme pathogen maka garis pertahanan tubuh yang kedua akan segera bekerja. Garis pertahanan kedua yang dikenal dengan sistem pertahanan nonspesifik internal terutama bergantung pada fagositosis.

            Sel darah putih fagositik
                        Sel fagosit terdiri atas neutrofil, monosit, dan eosinofil. Jumlah neutrofil sekitar 60-70% dari semua sel darah putih. Neutrofil hanya dapat hidup beberapa hari. Neutrofil akan masuk kedalam jaringan yang terinfeksi, kemudian menelan dan merusak mikroorganisme yang ada disana.
            Monosit berjumlah sekitar 5% dari seluruh sel darah putih. Meskipun demikian, monosit dapat bekerja dengan efektif dalam pertahanan tubuh. Monosit akan bermigrasi ke dalam jaringan dan bekembang menjadi makrofag. Makrofag juga memfagositosis sel-sel tubuh yang telah mati. Makrofag pada jaringan merupakan fagosit yang bekerja dengan cepat dan berumur panjang. Makrofag dapat memfagositosis benda asing dalam waktu singkat sekitar 1/100 detik.
                        Eosinofil berjumlah 1,5% dari keseluruhan sel darah putih. Peranan utama eosinofil adalah melawan penyerang berukuran lebih besar seperti cacing darah Schistosoma mansoni. Aktivitas fagositosis pada eosinofil sangat terbatas.
            Selain sel-sel fagosit, aktivitas pertahana nonspesifik juga melibatkan sel pembunuh alami (natural killer). Sel pembunuh tidak menyerang mikroorganisme yang masuk, melainkan menyerang sel ubuh yang terserang virus dan sel-sel yang membentuk tumor.

Protein Antimikroba
            Berbagai jenis protein juga berperan dalam pertahanan tubuh nonspesifik. Infeksi mikrooganisme akan merangsang sekelompok anti mikroba yang teridri atas 21 protein serum yang akan melisiskan mikroorganisme. Sekelompok anti mikroba ini dikenal sebagai sistem komplemen. Aktifitas sistem komplemen diawali dengan kontak antara salah satu protein dengan permukaan tubuh mikroorganisme. Hal tersebut akan mengakibatkan terbentuknya pori-pori pada membran sel mikroorganisme yang pada akhirnya akan mengalami lisis.
                        Kumpulan protein lain yang berperan dalam pertahanan tubuh nonspesifik adalah interferon, interferon diekskresikan oleh sel-sel yang terserang oleh suatu virus. Bagi sel yang mengekskresikannya, interferon tidak memberikan manfaat. Akan tetapi, interferon akan berdifusi ke dalam sel-sel di sekitarnya dan menginduksi sel-sel tersebut untuk membentuk zat kimia yang akan menghambat perkembangan virus.

Respons peradangan
            Kerusakan sel atau jaringan, misalnya karena terluka atau tertusuk duri akan mengakibatkan suatu respon peradangan. Respon peradangan dimulai oleh adanyasinyal kimiawi. Sinyal kimiawi dapat berupa senyawa histamin yang dihasilkan oleh sel tubuh sebagai respon dari kerusakan jaringan (Campbell, et al., 2006:487). Histamine yang terbentuk berperan dalam meningkatkan konsentrasi otot dan permeabilitas dinding pembuluh darahkapiler di sekitar areal yang terinfeksi.
            Peningkatan aliran darah dan permeabilitas pembuluh darah akan memudahkan perpindahan sel-sel fagosit dari darah ke dalam jaringan yang terluka. Netrofil merupakan fagosit pertama tiba di daerah yang terluka. Selanjutnya, monosit akan menyusul dan berkembang menjadi makrofag yang akan membunuh semua bakteri yang masuk. Selain itu makrofag juga akan membersihkan sel-sel jaringan yang rusak.

            Kasus di atas adalah apabila peradangan terlokalisir pada suatu tempat. Selain itu, tubuh dapat juga melancarkan respons nonspesifik sistemik (menyebar). Salah satu contoh respons sistemik adalah demam. Toksin yang dihasilkan oleh mikroorganisme pathogen di sekitar daerah luka akan menyebabkan demam sehingga suhu tubuh akan relative tinggi. Di samping itu, demam juga disebabkan oleh sel darah putih yang melepaskan suatu senyawa yang disebut pirogen. Pirogen akan meningkatkan suhu tubuh menjadi lebih tinggi.
                        Demam yang sangat tinggi akan sangat membahayakan tubuh. Adapun demam dalam tingkat normal akan membantu menghambat pertumbuhan mikroorganisme pathogen.
2.1.2 Sistem Pertahanan Tubuh Spesifik
                        Garis pertahanan ketiga dari sistem pertahanan tubuh adalah limfosit dan antibodi, yang mengenali secara spesifik mikroorganisme tertentu. Pertahanan tubuh yang ketiga ini termasuk pertahanan tubuh spesifik yang kerjanya bertepatan dengan pertahanan tubuh kedua. Pertahanan tubuh ini dikenal juga dengan sebutan sistem kekebalan tubuh. Molekul asing yang mendatangkan suatu respons spesifik dari sistem kekebalan tubuh disebut antigen. Antigen meliputi molekul yang dimiliki virus, bakteri, protozoa, fungi cacing parasit, dan mikroorganisme lainnya.
                        Sistem kekebalan tubuh bereaksi terhadap antigen dengan cara mengaktifkan sel limfosit B yang akan mengekskresikan protein khusus yang disebut antibodi. Istilah antigen merupakan singkatan dari antibodi generating (pembangkit antibodi). Setiap antigen memiliki susunan molekul khusus yang akan merangsang sel limfosit B tertentu untuk mengekskresikan antibodi yang berinteraksi secara spesifik dengan antigen tersebut.

Struktur Sistem Kekebalan Tubuh
                        Sistem kekebalan tubuh pada vertebrata khususnya manusia, sangat bergantung pada sel darah putih (leukosit). Bersama-sama dengan sel darah lainnya, sel darah putih dibentuk oleh sebuah jaringan meristem yang disebut sel induk (stem cells).
                        Limfosit terdiri atas limfosit B dan limfosit T. Telah diketahui perkembangan limfosit terjadi dalam sumsum tulang. Limfosit yang meneruskan pematangannya dalam sumsum tulang berkembang menjadi limfosit B. Sedangkan limfosit yang bermigrasi ke timus dan meneruskan pematangannya disana berkembang menjadi limfosit T.

a. Limfosit B
                        Limfosit B jumlahnya mencapai 30% dari keseluruhan limfosit yang ada di dalam tubuh. Limfosit B dibentuk dan mengalami pematangan dalam sumsum tulang (bone marrow). Huruh “B” pada limfosit B berasal dari kata “bursa fabrisius”, yaitu organ pada unggas tempat pematangan limfosit B. pada organ bursa fabrisius inilah limfosit B pertama kali ditemukan. Akan tetapi, beberapa juga menyebutkan bahwa huruf “B” pada limfosit B berasal dari “bone marrow”.
                        Limfosit B yang berkembang dalam sumsum tulang mengalami pembelahan atau deferensiasi sel plasma dan sel limfosit B memori. Sel plasma bertugas mengekskresikan antibodi ke dalam cairan tubuh. Sedangkan sel limfosit B memori berfungsi menyimpan informasi antigen.

            b. Limfosit T
                        Seperti halnya limfosit B, limfosit T dibentuk di sumsum tulang. Akan tetapi, proses pematangan limfosit terjadi di kelenjar timus, sehingga disebut limfosit T yang berasal dari kata “timus”.
                        Pada saat perkembangannya di kelenjar timus, limfosit T berdiferensiasi menjadi beberapa jenis limfosit. Jenis-jenis limfosit tersebut adalah:
1) Limfosit T sitotoksit, berfungsi dalam menghancurkan sel yang telah terinfeksi.
2) Limfosit T penolong, berfungsi mengaktifkan limfosit T dan limfosit B.
3) Limfosit T supresor, berfungsi mengurangi produksi antibodi yang dihasilkan sel-sel plasma.
4) Limfosit T memori, berfungsi mengingat antigen yang pernah masuk ke dalam tubuh, sehingga antigen yang pernah masuk ke tubuh akan mudah dikenali dan lebih cepat dihancurkan.
                        Setelah mengalami pematangan, limfosit T dan B akan masuk ke dalam sistem peredaran limfatik. Oleh karena itu, sel-sel limfosit banyak ditemui pada peredaran darah limfatik, sumsum tulang, kelenjar timus, kelenjar limpa, amandel, darah, dan sistem pencernaan.

c. Antibodi
                        Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa limfosit B membentuk sel plasma yang akan mengekskresikan antibodi. Antibodi terdiri atas sekelompok protein serum globuler yang disebut imunoglobulin. Immunoglobulin ini merupakan protein khusus yang dipindahkan ke bagian membran sel, kemudian akan mengenali dan membunuh sel asing yang ditemui.
                        Levine dan Miller (1991:785) menjelaskan bahwa terdapat lima kelompok immunoglobulin, yaitu IgM, IgG, IgA, IgD, dan IgE.
1) IgM, merupakan antibodi pertama yang menyerang suatu antigen. IgM berperan mengaktifkan sistem komplemen. Keberadaan IgM dalam darah mengindikasikan adanya infeksi baru oleh pathogen
2) IgG merupakan antibodi yang paling banyak ditemukan dalam aliran darah. Antibodi IgG dapat menembus pembuluh darah. IgG juga dapat menembus plasenta dan membawa sistem kekebalan dari ibu kepada janin sehingga dapat melindungi janin dari infeksi.
3) IgA banyak ditemukan pada kelenjar keringat, sistem pencernaan, sistem pernapasan, dan saluran reproduksi. IgA mencegah masuknya virus atau bakteri melalui jaringan epitel.
4) IgD berfungsi dalam diferensiasi limfosit B menjadi sel-sel plasma dan sel limfosit B memori.
5) IgE bertanggung jawab terhadap reaksi alergi. Konsentrasi IgE akan meningkat pada orang yang terinfeksi alergi.
                        Sebuah molekul antibodi umumnya mempunyai dua tempat pengikatan antigen yang identik dan spesifik untuk epitop yang menyebabkan produksi antibodi tersebut. Epitop merupakan bagian kecil dari antigen yang dapat dimasuki oleh antibodi. Masing-masing molekul terdiri atas empat rantai polipeptida, yaitu dua rantai berat (heavy chain) yang identik dan dua rantai ringan (light chain) yang identik yang dihubungkan oleh jembatan disulfida untuk membentuk suatu molekul berbentuk Y. Pada kedua ujung molekul berbentuk Y itu terdapat daerah variable (V) rantai berat dan ratai ringan. Disebut demikian karena urutan asam amino pada bagian ini sangat bervariasi dari satu antibodi ke antibodi yang lain. Daerah V rantai berat dan daerah V rantai ringan secara bersama-sama membentuk suatu kontur unik tempat pengikatan antigen milik antibodi. Interaksi antara tempat pengikatan antigen dengan epitopnya mirip dengan interaksi enzim dan substratnya.
                        Sementara tempat pengikatan antigen bertanggung jawab atas kemampuan antibodi untuk mengidentifikasi suatu epitop spesifik sebagai suatu antigen, ekor antibodi berbentuk Y, dibentuk oleh daerah konstan (C) rantai berat, yang bertanggung jawab atas persebarannya dalam tubuh dan atas mekanisme pembuangan antigen yang diperantarainya. Terdapat lima jenis utama daerah konstan rantai berat dan hal tersebut menentukan kelima kelas utama antibodi.

2.2 MEKANISME TERBENTUKNYA KEKEBALAN SPESIFIK
                        Bila pertahanan non spesifik belum dapat mengatasi invasi mikroorganisme maka imunitas spesifik akan terangsang. Mekanisme pertahanan spesifik adalah mekanisme pertahanan yang diperankan oleh sel limfosit, dengan atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya seperti sel makrofag dan komplemen. Limfosit  adalah garis pertahanan ketiga tubuh yang merupakan sel kunci dalam sistem kekebalan. Limfosit merespon terhadap kontak dengan mikroba dengan cara membangkitkan respon kekebalan yang efisien dan selektif, yang bekerja di seluruh tubuh untuk mengeluarkan penyerang tertentu. Sel-sel sistem kekebalan merespons dengan serupa terhadap sel-sel yang dicangkokkan dan bahkan sel-sel kanker, yang mereka deteksi sebagai sesuatu yang asing.
            Tubuh vertebrata mengandung dua jenis utama limfosit. Limfosit B (sel B) dan limfosit T (sel T). Seperti makrofaga, kedua jenis limfosit itu bersirkulasi di seluruh darah dan limfa, dan terkonsentrasi dalam limpa, nodus limfa, dan jaringan limfatik lainnya. Karena limfosit mengenali dan merespon terhadap mikroba tertentu dan molekul asing, maka limfosit dikatakan memperlihatkan spesifitas. Molekul asing yang mendatangkan suatu respons spesifik dari limfosit disebut sebagai antigen. Antigen meliputi molekul yang dimiliki virus, bakteri, fungi, protozoa dan cacing parasit.
            Sel T dan sel B terspesialisasi bagi jenis antigen yang berlainan, dan kedua jenis sel itu melakukan aktivitas pertahanan yang berbeda namun saling melengkapi. Salah satu cara antigen menimbulkan respons kekebalan adalah dengan cara mengaktifkan sel B untuk mensekresi protein yang disebut antibodi. Masing-masing antigen mempunyai bentuk molekuler khusus dan merangsang sel-sel B tertentu untuk mensekresi antibodi yang berinteraksi secara spesifik dengan antigen tersebut.Limfosit B dan T membedakan antigen dengan bentuk molekular yang hanya berbeda sedikit.
            Sel B dan sel T dapat mengenali antigen spesifik karena adanya reseptor antigen yang terikat pada membran plasmanya. reseptor pada antigen pada sel B adalah versi transmembran molekul antibodi, yang dikenal sebagai antibodi membran (atau imonoglobulin). Reseptor pada antigen pada sel T disebut reseptor sel T. Sebuah limfosit sel B atau T memiliki sekitar 100.000 reseptor untuk antigen, dengan spesifisitas yang persis sama. Reseptor yang dihasilkan oleh limfosit tunggal ditentukan oleh kejadian genetik acak yang terjadi dalam limfosit tersebut selama perkembangan awalnya. Dengan keanekaragaman limfosit, sistem kekebalan mempunyai kekebalan untuk merespon jutaan molekul antigenik yang berbeda dan memiliki kemampuan merespon terhadap jutaan patogen potensial yang berlainan.

a.  Antigen Berinteraksi dengan Limfosit Spesifik
                        Mikroorganisme penginfeksi hanya berinteraksi dengan limfosit yang mengandung reseptor spesifik terhadap berbagai antigenik yang dimilikinya. Masing-masing limfosit terseleksi itu diaktifkan untuk membelah dan untuk berdifrensiasi, dan akhirnya membentuk dua klon sel. Satu klon atas sejumlah besar sel efektor, yaitu sel-sel berumur pendek yang melawan dan menyerang antigen yang sama. Klon lain terdiri atas sel memori, yaitu sel berumur panjang yang mengandung reseptor spesifik untuk antigen yang sama. Sel memori disiapkan untuk berproliferasi atau memperbanyak diri dan berdifrensiasi secara cepat ketika sel-sel itu nantinya mengadakan kontak dengan antigen yang sama.
      Perbanyakan dan difrensiasi limfosit secara selektif yang terjadi saat pertama kali tubuh terpapar suatu antigen disebut respon kekebalan primer. Sejak pemaparan awal antigen diperlukan waktu sekitar 10-17 hari bagi limfosit terselksi untuk membangkitkan respon sel efektor yang maksimum. Jika individu terpapar antigen yang sama lagi beberapa waktu kemudian, respon akan menjadi lebih cepat (hanya 2 sampai 7 hari), dengan besaran respon yang lebih hebat dan lebih lama. Inilah yang disebut sebagai respon kekebalan sekunder. Kemampuan sistem kekebalan untuk membangkitkan respon kekebalan sekunder merupakan dasr dari memori imunologis.
     
     
b. Perkembangan Limfosit Menghasilkan Sistem Kekebalan yang Membedakan “diri sendiri” (self) dari yang “bukan diri sendiri” (nonself)
      Limfosit berasal dari sel induk pluripoten di sumsum tulang atau hati janin yang sedang berkembang. Limfosit yang bermigrasi dari sumsum tulang ke timus, berkembang menjadi sel T (“T” dari kata timus). Limfosit yang tetap berada dalam sumsum tulang dan meneruskan pematangannya disana akan menjadi sel B.
     
> Toleransi Kekebalan terhadap “Diri Sendiri” (self)
      Ketika sel B dan sel T mengalami pematangan, reseptor antigennya diuji untuk reaktivitas “diri sendiri”. Limfosit yang mengandung reseptor yang spesifik untuk molekul yang telah ada dalam tubuh dibuat menjadi tidak fungsional atau dirusak, sehingga yang tersisa hanya limfosit yang bereaksi dengan molekul asing. Kemampuan untuk membedakan diri sendiri dari yang bukan diri sendiri terus berkembang bahkan ketika sel itu bermigrasi ke organ limfatik. Tubuh secara normal tidak mempunyai limfosit dewasa yang bereaksi dengan komponen diri sendiri (Toleransi terhadap Diri Sendiri). Kegagalan mengembangkan sifat toleransi “diri sendiri” dapat mengakibatkan penyakit autoimun seperti multiple scerosis. 
     
> Peranan Marka (Penanda)Permukaan Sel dalam Fungsi dan Perkembangan Sel T
      Sel T mempunyai suatu interaksi yang sangat penting dengan salah satu kelompok penting molekul asli. Molekul tersebut merupakan kumpulan glikoprotein permukaan sel yang dikode oleh sebuah keluarga gen yang disebut sebagai kompleks histocompatibilitas mayor (MHC). MHC merupakan suatu sidik jari biokimiawi yang dapat dikatakan unik bagi setiap individu. Dua kelas utama molekul MHC menandai sel tubuh sebagai “diri sendiri”. MHC kelas I ditemukan pada semua sel bernukleus, yaitu pada setiap sel tubuh. Molekul MHC kelas II terbatas hanya pada beberapa jenis sel khusus yang meliputi makrofaga, sel B, sel T yang telah diaktifkan dan sel-sel yang menyusun bagian interior timus. Sel T yang sedang berkembang berinteraksi dengan sel-sel timus, yang mengandung kadar molekul MHC kelas I dan molekul MHC kelas II yang tinggi. Hanya sel T yang mengandung reseptor dengan afinitas untuk MHC-self yang mencapai pematangan. 
      Satu komponen penting respons kekebalan adalah MHC, yang memperlihatkan suatu kombinasi dari diri sendiri (molekul MHC) dan bukan diri sendiri (fragmen antigen) yang dikenali oleh limfosit T spesifik. Molekul MHC dan interaksinya dengan sel T sangat penting bagi suatu sistem kekebalan yang fungsional. Tugas suatu molekul MHC adalah penyajian (presentasi) antigen. Masing-masing molekul MHC menggendong fragmen antigen protein dalam lekukan berbentuk ayunan dan menyajikannya ke sel T. Sel T Sitotoksik (Tc) mempunyai reseptor antigen yang terikat dengan fragmen antigen yang diperlihatkan oleh molekul MHC kelas I tubuh. Sel T helper (Th) mempunyai reseptor yang terikat dengan fragmen antigen yang diperlihatkan oleh molekul MHC kelas II tubuh. Masing-masing kombinasi MHC antigen akan membentuk kompleks yang unik yang dikenali oleh reseptor antigen spesifik pada sel T tertentu.
2.3 RESPON KEKEBALAN
            Sistem kekebalan dapat menghasilkan dua jenis respon terhadap antigen yang meliputi : respon humoral dan respons yang di perantai oleh sel. Kekebalan humoral (humoral immunity) melibatkan aktivasi sel B dan diikuti oleh produksi antibody yang beredar di dalam plasma darah dan limfa, yang merupakan cairan yang dulu dikenal sebagai humor. Sekitar abad kesembilan belas, para peneliti melaksanakan percobaan memindahkan cairan semacam itu dari hewan yang sudah sembuh dari suatu infeksi ke hewan lain yang belum pernah terpapar dengan infeksi tersebut. Para peneliti telah memindahkan kekebalan humoral (antibodi) dari hewan ke hewan. Mereka  juga menemukan bahwa kekebalan terhadap beberapa infeksi dapat diteruskan hanya jika sel-sel, yang diidentifikasi sebagai limfosit T, dipindahkan. Jenis kekebalan kedua ini, yang bergantung pada kerja sel T, menjadi dikenal sebagai kekebalan yang diperantai sel ( cell-mediated immunity).
     
            Antibodi yang beredar sebagai respons humoral terutama bekerja melawan bakteri bebas, toksin, dan virus yang ada dalam cairan tubuh. Sebaliknya, sel-sel T yang merupakan bagian dari respons yang diperantai sel secara aktif melawan bakteri dan virus yang berada di dalam tubuh yang terinfeksi, juga melawan fungi, protozoa, dan cacing parasit. Kekebalan diperantai sel juga sangat penting dalam respons tubuh terhadap jaringan yang dicangkokkan dan sel-sel kanker, di mana keduanya dianggap sebagai ‘’bukan diri sendiri’’ gambar 43.10 menyajikan gambaran secara umum respon humoral dan respons yang diperantai sel, yang merupakan dua cabang system kekebalan. Hubungan yang menyatu pada gambar yaitu interaksi pensinyalan sel diantara limfosit-limfosit. Yang sangat penting dalam pensinyalan ini adalah sel helper, yang merespon antigen yang disajikan oleh makrofage yang merangsang sel B maupun merangsang sel T lainnya.

2.3.1 LIMFOSIT T HELPER
Peranan Limfosit T Helper
            Limfosit T helper berfungsi dalam kekebalan humoral maupun kekebalan yang diperantarai oleh sel. Sel T helper (Sel T pembantu) mengatur respon imun bawaan serta adaptif dan membantu menentukan tipe respon imun yang akan dibuat oleh tubuh pada patogen khusus. Sel tersebut tidak memiliki aktivitas sitotoksik dan tidak membunuh sel yang terinfeksi atau membersihkan patogen secara langsung, namun mereka mengontrol respon imun dengan mengarahkan sel lain untuk melakukan tugas tersebut. Sel T helper mempunyai reseptor yang berikatan dengan molekul MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II yang mengandung antigen. MHC mengandung antigen kompleks yang juga dikenali oleh reseptor sel pembantu CD4 yang merekrut molekul didalam sel T yang bertanggung jawab untuk aktivasi sel T.

            Molekul MHC kelas II yang dikenali oleh sel T helper hanya ditemukan pada jenis sel tertentu, terutama sel-sel yang menelan antigen asing. Sel-sel yang menghancurkan antigen adalah sel b dan makrofaga. Kelompok sel tersebut bertindak sebagai sel penyaji antigen (Antigen Presenting Cell, APC) yang mensiagakan sistem kekebalan melalui sel T helper, bahwa ada antigen asing dalam tubuh. Sebagai contoh, sebuah makrofaga yang telah menelan dan merusak bakteri mengandung fragmen kecil bakteri (peptida). Sementara molekul MHC kelas II yang baru disintesis bergerak menuju permukaan makrofaga, molekul itu menangkap salah satu diantara peptide bakteri itu dalam lekukan pengikat antigennya dan membawanya ke permukaan, sehingga memperlihatkan peptide asing itu ke sel T helper. Interaksi antara sel penyaji antigen dengan sel T helpersemakin meningkat dengan kehadiran CD4. Interaksi antara CD4 dengan molekul MHC kelas II membantu mempertahankan sel T helper dan sel penyaji tetap menyatu, sementara aktivasi antigen yang berrsifat spesifik sedang berlangsung.
            Ketika sel T helper diseleksi melalui kontak spesifik dengan kompleks MHC kelas II dan antigenpada sebuah APC sel t helper akan memperbanyak diri dan berdiferensiasi menjadi klon sel T helper yang diaktifkan dan sel T helper memori. Sel T helper yang diaktifkan mensekresikan beberapa sitokin yang berbeda, yang merupakan protein yang berfungsi untuk merangsang limfosit lain. Sebagai contoh sitokin interleukin-2 (IL-2) membantu sel B yang telah mengadakan kontak dengan antigen untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi. IL-2 juga membantu sel T sitotoksik untuk menjadi pembunuh yang aktif. Sel T helper itu sendiri patuh pada pengaturan oleh sitokin. Sementara makrofaga memfagositosis dan menyajikan antigen, makrofaga itu dirangsang untuk mensekresi suatu sitokin yang disebut interleukin-1 (IL-1). IL-1 dalam kombinsi dengan antigen yang disajikan, mengaktifkan sel T helper untuk menghasilkann IL-2dan sitokin lain. Merupakan satu contoh uumpan balik positif adalah peristiwa saat IL-2 yang disekresi oleh sel T helper juga akan merangsang sel tersebut untuk memperbanyak diri lebih cepat lagi dan untuk menjadi penghasil sitokin yang lebih aktif lagi. Dengan cara ini sel T helper memodulasi respon kekebalan humoral (sel B) maupun respon kekebalan yang diperantarai oleh sel (sel T sitotoksik).

2.3.2 RESPON HUMORAL
            Respon kekebalan humoral diawali ketika sel B yang mengandung reseptor antigen (antibody membran) terseleksi oleh antigen spesifik. Aktivitas sel B dibantu oleh IL-2 dan sitokin lain dan disekresikan oleh sel T helper yang diaktifkan oleh antigen yang sama. Sel B berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi klon sel plasma yang mensekresikan antibody dan klon sel B memori yang berumur panjang akibat adanya rangsangan oleh antigen dan sitokin. Anti gen yang memicu jenis respon sel B ini dikenal sebagai antigen yang bergantung pada sel T (T-dependent antigen) karena dapat merangsang produksi antibodi hanya dengan bantuan dari TH. sebagian besar antigen protein bergantung pada sel T. antigen lain seperti polisakarida dan protein dengan banyak polipeptida identik berfungsi sebagai antigen yang tidak bergantung pada sel T (T-independent antigen). Antigen jenis itu mencakup polisakarida-polisakarida dari banyak kapsul bakteri dan protein-protein yang menyusun flagella bakteri. Subunit berulang antigen ini berikatan secara simultan dengan sejumlah antibodi membran pada permukaan sel B. hal ini menyediakan rangsangan yang cukup  bagi sel B untuk membangkitkan sel plasma yang mensekresikan antibodi tanpa bantuan IL-2. Respon terhadap antigen yang tidak bergantung pada sel T ini sangat penting dalam melawan banyak bakteri, akan tetapi respon itu umumnya lebih lemah dibandingkan dengan respon terhadap antigen yang bergantung pada sel T dan tidak ada sel memori yang dihasilkan dalam respon yang tidak bergantung pada sel T ini.

            Sel B mengandung molekul MHC kelas II. Sel B adalah sel penyaji antigen. Ketika antigen pertama kali berikatan dengan antibdi membrane, sel B akan menghancurkan beberapa dari molekul asing itu melalui endositosis yang diperantarai reseptor. Dalam sebuah proses yang sangat mirip dengan penyajian dalam makrofaga, sel B menyajikan antigen k sel T helper.  Akan tetapi, meskipun makrofag dapat menelan dan menyajikan fragmen peptida dari berbagai variasi antigen, sel B membawa dan hanya menyajikan fragmen peptida antigen yang terikat padanya secara spesifik. Para ahli imunologi memperkirakan bahwa makrofag adalah sel penyaji antigen utama dalam respon primer (ketika sel B spesifik untuk suatu antigen tertentu jarang ditemukan). Pada respon humoral manapun proses yang baru dibahas merangsang berbagai sel B yang berlainan,dimana masing-masing sel menjadi suatu klon yang terdiri dari ribuan sel-sel plasma. Masing-masing sel plasma ditaksir mensekresi sekitar 2000 molekul antibodi perdetik selama 4 sampai 5hari masa hidup sel tersebut.

2.3.3 RESPON KEKEBALAN YANG DIPERANTARAI SEL
      Faktor terpenting dalam kekebalan ini adalah sel-sel hidup, yaitu sel-sel T limfosit. Sel-sel ini secara aktif melawan bakteri dan virus yang ada dalam sel tubuh yang terinfeksi. Sel-sel ini juga dapat melawan protozoa, jamur, dan cacing parasit.
      Dalam respon yang diperantarai sel T, sel T sitotoksik akan berperan melawan pathogen intraseluler. Limfosit T sitotoksik yang diaktifkan oleh antigen membunuh sel-sel kanker dan sel-sel yang terinfeksi oleh virus atau patogen intraseluler lainnya.
      Semua sel-sel bernukleus dalam tubuh secara terus-menerus menghasilkan molekul MHC kelas I. Molekul MHC kelas I yang baru disintesis bergerak menuju permukaan sel, molekul itu menangkap fragmen kecil dari salah satu protein lain yang disintesis oleh sel tersebut. Jika sel tersebut ternyata mengandung virus yang bereplikasi, fragmen peptida protein virus itu ditangkap dan diangkut ke permukaan sel. Dengan cara ini, molekul MHC kelas I memaparkan protein asing yang disintesis dalam sel terinfeksi atau sel abnormal, ke sel T sitotoksik. Interaksi antara sel penyaji antigen dan sel T sitotoksik sangat ditingkatkan oleh kehadiran protein permukaan sel T yang disebut CD8. CD8 terdapat pada sebagian besar sel T sitotoksik dan mempunyai afinitas terhadap sebagian molekul MHC kelas I. Interaksi MHC kelas I dan CD8 membantu mempertahankan kedua sel itu tetap menyatu sementara aktivasi antigen yang bersifat spesifik sedang berlangsung.
   
      
      Sebuah sel T sitotoksik yang diaktifkan oleh kontak spesifik dengan kompleks MHC kelas I dan antigen pada sel yang terinfeksi atau sel tumor dan dirangsang lebih lanjut oleh IL-2 dari sel T helper, berdiferensiasi menjadi sel pembunuh yang aktif. Sel ini membunuh apa yang disebut sel target, terutama dengan cara membebaskan perforin, yaitu protein yang membentuk pori atau lubang pada membrane sel target. Karena ion dan air mengalir ke dalam sel target, maka sel itu membengkak dan akhirnya lisis. Kematian sel-sel yang terinfeksi itu bukan saja menghilangkan tempat bagi patogen untuk bereproduksi, tetapi juga memaparkannya ke antibody yang sedang beredar, sehingga menandainya untuk dibuang dan dihancurkan. Setelah merusak sel yang terinfeksi, sel T sitotoksik terus bergerak membunuh sel-sel lain yang terinfeksi dengan patogen yang sama
     
2.2.4 Pembuangan Antigen yang Diperantarai Antibodi
       Pengikatan antibodi dengan antigen untuk membentuk kompleks antigen-antibodi merupakan dasar dari beberapa mekanisme pembuangan antigen. Yang paling sederhana diantaranya adalah netralisasi, dimana antibodi berikatan dengan menghambat aktivasi antigen tersebut. Sebagai contoh, antibodi menetralkan suatu virus dengan melekat pada molekul yang harus digunakan oleh virus untuk menginfeksi sel inangnya. Dengan cara serupa, antibodi bisa berikatan dengan permukaan bakteri patogenik. Mikroba ini, sekarang dilapisi dengan antibodi, dengan mudah dilenyapkan oleh fagositosis. Dalam suatu proses disebut opsonisasi, antibodi yang terikat itu meningkatkan pertautan makrofag ke mikroba tersebut sehingga juga meningkatkan fagositosis.
       Aglutinasi (penggumpalan) bakteri atau virus diperantarai oleh antibodi secara efektif menetralkan dan mengopsonisasi mikroba tersebut. Aglutinasi mungkin terjadi karena  masing-masing molekul antibodi mempunyai paling tidak dua tempat pengikatan antigen. IgG, misalnya, dapat berikatan dengan epitop identik pada dua sel bakteri atau partikel virus, yang mengikatkan mereka bersama-sama. IgM dapat mengikatkan bersama lima atau lebih virus atau bakteri. Kompleks besar ini dengan mudah difagositosis oleh makrofag. Mekanisme seperti ini adalah presipitasi (pengendapan), yaitu pengikatan silang molekul-molekul antigen yang terlarut yaitu molekul terlarut dalam cairan tubuh untuk membentuk endapan atau presipitat yang lalu dikeluarkan dan dibuang oleh fagositosis.
       Salah satu pembuangan antigen yang diperantarai antibodi yang paling penting adalah fiksasi komplemen, yaitu aktivasi sistem komplemen oleh kompleks antigen antibodi. Komplemen terdiri sekitar 20 protein serum yang berbeda, yang tanpa adanya infeksi, protein yang pertama dalam rentetan protein komplemen itu diaktifkan, sehingga memicu rentetan langkah-langkah aktivasi dimana masing-masing komponen maengaktifkan langkah berikutnya dalam rentetan reaksi itu. Penyelesaian rentetan reaksi komplemen itu menyebabkan lisisnya banyak jenis virus dan sel-sel patogen. Pelisisan sel oleh komplemen dapat dicapai dalam dua cara. Jalur klasik (disebut demikian karena ditemukan paling awal) dipicu oleh antibodi yang terikat ke antigen dan dengan demikian penting perannya dalam respon kekebalan humoral. Jalur alternatif dipicu oleh bahan-bahan yang secara alamiah ditemukan pada banyak bakteri, ragi, virus, dan parasir protozoa. Jalur ini tidak melibatkan antibodi dan dengan demikian merupakan pertahanan nonspesifik yang penting.
      
       Jalur klasik dapat dimulai ketika antibodi IgM atau IgG berikatan dengan suatu patogen, misalnya sel bakteri. Komponen komplemen pertama menghubungkan dua antibodi yang terikat sehingga diaktifkan, dan memulai rentetan reaksi itu. Akhirnya, protein komplemen mengakibatkan kompleks serangan membran (membrane attack complex/MAC), yang membentuk pori berdaimeter 7-10 nm pada membran bakteri itu. Ion dan air mengalir masuk kedalam sel, yang menyebabkan sel tersebut bengkak dan lisis. Pori MAC serupa dengan pori perforin yang dihasilkan oleh sel T sitotoksik.
       Pada jalur klasik dan jalur alternatif, banyak protein komplemen yang diaktifkan turut menyebabkan peradangan. Dengan berikatan dengan basofil dan sel-sel mast, beberapa protein komplemen memicu pembebasan histamin, molekul pensinyalan luka yang memicu dilatasi (pembesaran) dan peningkatan permebilitas pembuluh darah. Beberapa protein komplemen yang aktif juga menarik fagosit ketempat itu. Selain itu, salah satu protein komplemen yang diaktifkan dapat menyebabkan opsonisasi. Salinan protein ini akan melapisi permukaan bakteri dan seperti antibodi merangsang fagositosis. Pada contoh terakhir kerjasama dalam sistem pertahanan tubuh, antibodi, komplemen, dan fagosit berfungsi secara bersama-sama dalam fenomena yang disebut kelekatan kekebalan (immune adherence). Mikroba yang dilapisi antibodi dan protein komplemen menempel ke dinding pembuluh darah, sehingga patogen tersebut lebih mudah dimangsa oleh sel-sel fagosit yang beredar didalam tubuh.

      
2.4 KETIDAKSEIMBANGAN SISTEM IMUN
      Kerjasama yang sangat teratur antara limfosit dengan zat – zat asing, dengan satu sama lain, dan dengan sel tubuh lain, memberikan kita perlindungan yang luar biasa dari banyak penyakit. Akan tetapi, jika keseimbangan yang rumit ini diganggu oleh tidak berfungsinya sistem kekebalan, pengaruhnya pada individu dapat berkisar mulai dari sedikit ketidaknyamanan pada beberapa kasus alergi hingga ke akibat penyakit autoimun dan penyakit defisiensi kekebalan.
     
     
o Alergi
      Alergi adalah respons yang hipersensitif (berlebihan) terhadap antigen lingkungan tertentu, yang disebut sebgai alergen. Satu hipotesis untuk menjelaskan sumber atau asal muala alergi adalah bahwa alergi merupakan sisa – sisa evolusioner respons sistem kekebalan terhadap cacing parasiti. Mekanisme humoral yang melawan cacing mirip dengan  respons alergi yang menyebabkan kelainan seperti hay fever dan asma karena alergi.
      Alergi yang paling umum melibatkan antibodi dari kelas IgE. Sebagai contoh hay fever terjadi ketika sel plasma mensekresi IgE yang spesifik terhadap alergen serbuk sari. Beberapa diantara antibodi IgE terikat melalui ekornya ke sel – sel mast yang terdapat dalam jaringan ikat, tanpa berikatan dengan serbuk sari. Kemudian, ketika butiran serbuk sari itu memasuki tubuh, serbuk sari itu terikat dengan tempat peningkatan antigen dari sel – sel mast yang berasosiasi dengan IgE, sehingga mengaitsilangkan molekul – molekul antibodi yang berdekatan. Kejadian ini menginduksi sel – sel mast untuk mengalami degranulasi yaitu membebaskan histasmin dan agen peradangan lain dari vesikula yang disebut granula. Kejadian peradangan ini menghasilakan gejala alergi yang khas seperti bersin, hidung berair, mata berair, dan kontraksi oto polos yang dapat menyebabakan kesulitan bernafas. Antihistamin akan menurunkan gejala alergi dengan cara menghambat reseptor untuk histamin.
      Kosekuensi respons alergik akut yang paling serius adalah renjatan anafilaktik ( anaphylactic shok), yang merupakan suatu reaksi terhadap alergen yang tertelan atau disuntikan, yang dapat mengancam jiwa manusia. Renjatan anafilaktik terjadi ketika degranulasi sel mast menyebar luas memicu pembesaran pembuluh darah periferal secara mendadak, yang menyebabkan penurunan tekanan darah secara mendadak. Kematian bisa terjadi dalam tempo beberapa menit. Respons alergi terhadap racun lebah atau penisilin dapat menyebabkan renjatan anafilaktik pada orang – orang yang sangat alergi pada zat – zat ini. Demikian juga, orang yang sangat alergi terhadap kacang tanah, ikan, atau makanan lain bisa meninggal hanya karena memakan sejumlah kecil saja alergen tersebut. Beberapa individual dengan hipersensitivitas yang hebat membawa squid atau jarum suntik yang mengandung hormon epinefrin, yang dapat melawan respons alergi ini.
     

Reaksi Alergi Anafilaksis
      Anafilaksis adalah suatu respon Alergi yang berat dan menyerang berbagai organ. Reaksi alergi ini merupakan suatu reaksi alergi tipe cepat ( tipe I ), yaitu reaksi antara antigen spesifik yang terikat pada sel mast. Selain itu dikenal pula istilah reaksi anafilaktoid yang secara klinis sama dengan reaksi anafilaksis, akan tetapi tidak disebabkan oleh zat yang bekerja langsung pada sel mast sehingga menyebabkan terlepasnya mediator. Mediator tersebut adalah histamin, SRA-A, ECF-A, PAF dan heparin. Reaksi hipersensitifitas tipe cepat terdiri dari serangkaian mekanisme efektor tubuh yang dijalankan oleh IgE.
     
     
     
    * Etiologi Analfilaksis atau Penyebab anafilaksis sangat beragam, diantaranya adalah antibiotik, ekstrak alergen (jamur atau ekstrak rumput-rumputan), serum kuda, zat diagnostik (misalnya zat radioopak untuk radiodiagnostik) bisa ular (venom), produk darah, anestetikum local seperti lidokain atau prokain, enzim, hormone dan lain-lain Beberapa makanan telah dikenal sebagai penyebab alaergi anafilaktik seperti susu sapi, kerang, dan kacang-kacangan.
   * Patofisiologi Reaksi Alergi Anafilaksis akan lebih jelas kalau kita lihat pengaruh mediator pada organ target seperti sistem kardiovaskuler, traktus respiratorius, traktus gastrointestinalis dan kulit. Rangsangan alergen pada sel mast menyebabkan dilepaskannya mediator kimia yang sangat kuat yang memacu serangkaian peristiwa fisiologik yang menghasilkan gejala anafilaksis. Histamin yang merupakan salah satu mediator sel mast dapat menyebabakan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Pada sistem vascular menyebabkan dilatasi venula kecil, sedangkan pada pembuluh darah yang lebih besar menyebabkan konstriksi karena kontraksi otot polos. Selanjutnya histamine meninggikan permiabiltas kapiler dan venula pasca kapiler. Perubahan vaskuler ini menyebabkan respon wheal-flare, dan biia terjadi secara sistemik dapat menimbulkan hipotensi, urtikaria dan angioedema. Pada traktus gastrointestinalis histamin meninggikan sekresi mukosa lambung, dan bila pelepasan histamin terjadi secara sistemik maka aktifitas otot polos usus dapat meningkat menyebabkan diare dan hipermotilitas.
   * Gejala klinis reaksi alergi anafilaksis dapat berupa reaksi lokal dan reaksi sistemik. reaksi lokal terdiri dari urtikaria dan angioedema pada daerah yang kontak dengan antigen. Reaksi lokal dapat berat tetapi jarang sekali fatal. Reaksi sisteniik terjadi pada organ target seperti traktus respiratorius, sistem ardiovaskuler, traktus gastrointestinalis, dan kulit. Reaksi ini biasanya terjadi dalam waktu 30 menit sesudah kontak dengan penyebab.Gejala awal reaksi sistemik ringan adalah rasa gatal dan panas dibagian perifer tubuh, biasanya disertai perasaan penuh dalam mulut dan tenggorokan.
   * Pencegahan merupakan aspek yang terpenting pada penatalaksanaan anafilaksis. Pencegahan meliputi anamnesis yang teliti, penggunaan antibiotik sesuai indikasi, dan mel akukan uji kulit terhadap beberapa antibiotika atau antitoksin yang berasal dari serum hewan sebelum di berikan kepada pasien.

o  Penyakit Aoutoimun
      Menurut Baratawidjaya (2006), autoimun adalah respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan kegagalan mekanisme normal yang berperan untuk mempertahankan self-tolerance sel B, sel T atau keduanya. Potensi autoimun ditemukan pada semua individu oleh karena limfosit dapat mengeskpresikan reseptor spesifik untuk banyak self antifen.
      Autoimun terjadi karena self-antigen dapat menimbulkan aktivasi, proliferasi serta diferensiasi sel T autoreaktif menjadi sel efektor yang menimbulkan kerusakan jaringan dan berbagai organ. Baik antibodi maupun sel T atau keduanya dapat berperan dalam pathogenesis penyakit autoimun.
      Dalam populasi, sekitar 3,5% orang menderita penyakit autoimun. 94% dari jumlah tersebut berupa penyakit Grave (hipertiroidism), diabetes mellitus tipe 1, anemia pernisiosa, artritis rheumatoid, tiroiditis, vitiligo dan sclerosis multiple. Penyakit ditemukan lebih banyak pada wanita (2,7 x dibandingkan pria), diduga karena hormon.
     
* Faktor yang Berperan pada Automunitas
      1. Infeksi dan Kemiripan Molekular
      Banyak infeksi yang menunjukkan hubungan dengan penyakit autoimun tertentu. Beberapa penyakit memiliki epitope yang sama dengan antigen sendiri. Respon imun yang timbul terhadap bakteri tersebut bermula pada rangsangan terhadap sel T yang selanjutnya merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi.
      Infeksi virus dan bakteri dapat berkontribusi dalam terjadinya eksaserbasi autoimunitas. Pada kebanyakan hal, mikroorganisme tidak dapat ditemukan. Kerusakan tidak disebabkan oleh penyebab mikroba, tetapi merupakan akibat respon imun terhadap jaringan pejamu yang rusak. Contoh penyakit yang ditimbulkan oleh kemiripan dengan antigen sendiri adalah demam reuma pasca infeksi streptokok, disebabkan antibodi terhadap streptokok yang diikat jantung dan menimbulkan miokarditis.  
      2. Sequestered Antigen
      Sequestered antigen adalah antigen sendiri yang karena letak anatominya, tidak terpapar dengan sistem imun. Pada keadaan normal, sequestered antigen tidak ditemukan untuk dikenal sistem imun. Perubahan anatomik dalam jaringan seperti inflamasi (sekunder oleh infeksi, kerusakan iskemia atau trauma), dapat memajankan sequestered antigen dengan sistem imun yang tidak terjadi pada keadaan normal. Contohnya protein intraoktakular pada sperma.
      3. Kegagalan Autoregulasi
      Regulasi imun berfungsi untuk mempertahankan homeostasis. Gangguan dapat terjadi pada presentasi antigen, infeksi yang meningkatkan respon MHC, kadar sitokin yang rendah (misalnya TGF-?) dan gangguan respon terhadap IL-2. Pengawasan beberapa sel autoreaktif diduga bergantung pada sel Ts atau Tr. Bila terjadi kegagalan sel Ts atau Tr, maka sel Th dapat dirangsang sehingga menimbulkan autoimunitas.
      4. Aktivasi Sel B Poliklonal
      Autoimunitas dapat terjadi oleh karena aktivasi sel B poliklonal oleh virus (EBV), LPS dan parasit malaria yang dapat merangsang sel B secara langsung yang menimbulkan autoimunitas. Antibodi yang dibentuk terdiri atas berbagai autoantibodi.
      5. Obat-obatan
      Antigen asing dapat diikat oleh permukaan sel dan menimbulkan reaksi kimia dengan antigen permukaan sel tersebut yang dapat mengubah imunogenitasnya. Trombositopenia dan anemia merupakan contoh-contoh umum dari penyakit autoimun yang dicetuskan obat. Mekanisme terjadinya reaksi autoimun pada umumnya belum diketahui dengan jelas. Pada seseorang yang mendapat prokainamid dapat ditemukan antibodi antinuklear dan timbul sindroma berupa LES. Antibodi menghilang bila obat dihentikan.
      6. Faktor Keturunan
      Penyakit autoimun mempunyai persamaan predisposisi genetic. Meskipun sudah diketahui adanya kecendrungan terjadinya penyakit pada keluarga, tetapi bagaimana hal tersebut diturunkan, pada umumnya adalah kompleks dan diduga terjadi atas pengaruh beberapa gen.
      Ketidakseimbangan imun mendasari banyaknya penyakit kronis. oleh karena itu Transfer Factor boleh berfungsi sebagai pemodulator sistem imun, ia boleh membantu untuk mengembalikan keseimbangan sistem imun, seperti gangguan penyakit autoimun.
             Beberapa Gangguan Autoimun yang bisa di tenangkan dengan Transfer Factor
      Gangguan
      Jaringan yang terkena
      Konsekwensi
Anemia hemolitik autoimun
Sel darah merah
      Anemia (berkurangnya jumlah sel darah merah) terjadi, menyebabkan kepenatan, kelemahan, dan sakit kepala ringan. Limpa mungkin membesar.
Anemia bisa fatal.
Bullous pemphigoid
      Kulit
      Lepuh besar, yang kelilingi oleh area bengkak yang merah, terbentuk di kulit, gatal biasa,dengan pengobatan, prognosis baik.
Sindrom Goodpasture
Paru-paru dan ginjal
      Gejala, seperti pendeknya nafas, batuk darah, kepenatan, bengkak, dan gatal, mungkin berkembang. Prognosis baik jika pengobatan dilakukan sebelum kerusakan paru-paru atau ginjal hebat terjadi.
Penyakit Graves
Kelenjar tiroid
      Kelenjar gondok dirangsang dan membesar, menghasilkan kadar tinggi hormon thyroid (hyperthyroidism). Gejala mungkin termasuk detak jantung cepat, tidak tahan panas, tremor, berat kehilangan, dan kecemasa. Dengan pengobatan, prognosis baik.
Tiroiditis Hashimoto
Kelenjar tiroid
      Kelenjar gondok meradang dan rusak, menghasilkan kadar hormon thyroid rendah (hypothyroidism). Gejala seperti berat badan bertambah, kulit kasar, tidak tahan ke dingin, dan mengantuk. Pengobatan seumur hidup dengan hormon thyroid perlu dan biasanya mengurangi gejala secara sempurna.
Multiple sclerosis
Otak dan spinal cord
      Seluruh sel syaraf yang terkena rusak. Akibatnya, sel tidak bisa meneruskan sinyal syaraf seperti biasanya. Gejala mungkin termasuk kelemahan, sensasi abnormal, kegamangan, masalah dengan pandangan, kekejangan otot, dan sukar menahan hajat. Gejala berubah-ubah tentang waktu dan mungkin datang dan pergi. Prognosis berubah-ubah.
Myasthenia gravis
Koneksi antara saraf dan otot (neuromuscular junction)
      Otot, teristimewa yang dipunyai mata, melemah dan lelah dengan mudah, tetapi kelemahan berbeda dalam hal intensitas. Pola progresivitas bervariasi secara luas. Obat biasanya bisa mengontrol gejala.
      Pemphigus
      Kulit
      Lepuh besar terbentuk di kulit. Gangguan bisa mengancam hidup.
      Pernicious anemia
      Sel tertentu di sepanjang perut
      Kerusakan pada sel sepanjang perut membuat kesulitan menyerap vitamin B12. (Vitamin B12 perlu untuk produksi sel darah tua dan pemeliharaan sel syaraf). Anemia adalah, sering akibatnya menyebabkan kepenatan, kelemahan, dan sakit kepala ringan. Syaraf bisa rusak, menghasilkan kelemahan dan kehilangan sensasi.
Tanpa pengobatan, tali tulang belakang mungkin rusak, akhirnya menyebabkan kehilangan sensasi, kelemahan, dan sukar menahan hajat. Risiko kanker perut bertambah. Juga, dengan pengobatan, prognosis baik.
Rheumatoid arthritis
Sendi atau jaringan lain seperti jaringan paru-paru, saraf, kulit dan jantung
      Banyak gejala mungkin terjadi. termasuk demam, kepenatan, rasa sakit sendi, kekakuan sendi, merusak bentuk sendi, pendeknya nafas, kehilangan sensasi, kelemahan, bercak, rasa sakit dada, dan bengkak di bawah kulit. Progonosis bervariasi
Systemic lupus erythematosus (lupus)
sendi, ginjal, kulit, paru-paru, jantung, otak dan sel darah
      Sendi, walaupun dikobarkan, tidak menjadi cacat.
Gejala anemia, seperti kepenatan, kelemahan, dan ringan-headedness, dan yang dipunyai ginjal, paru-paru, atau jantung mengacaukan, seperti kepenatan, pendeknya nafas, gatal, dan rasa sakit dada, mungkin terjadi. Bercak mungkin timbul.
Ramalan berubah-ubah secara luas, tetapi kebanyakan orang bisa menempuh hidup aktif meskipun ada gejolak kadang-kadang kekacauan.
Diabetes mellitus tipe 1
Sel beta dari pankreas (yang memproduksi insulin)
      Gejala mungkin termasuk kehausan berlebihan, buang air kecil, dan selera makan, seperti komplikasi bervariasi dengan jangka panjang.
Pengobatan seumur hidup dengan insulin diperlukan, sekalipun perusakan sel pankreas berhenti, karena tidak cukup sel pankreas yang ada untuk memproduks iinsulin yang cukup. Prognosis bervariasi sekali dan cenderung menjadi lebih jelek kalau penyakitnya parah dan bertahan hingga waktu yang lama.
Vasculitis
Pembuluh darah
      Vasculitis bisa mempengaruhi pembuluh darah di satu bagian badan (seperti syaraf, kepala, kulit, ginjal, paru-paru, atau usus) atau beberapa bagian. Ada beberapa macam. Gejala (seperti bercak, rasa sakit abdominal, kehilangan berat badan, kesukaran pernafasan, batuk, rasa sakit dada, sakit kepala, kehilangan pandangan, dan gejala kerusakan syaraf atau kegagalan ginjal) bergantung pada bagian badan mana yang dipengaruhi. Prognosis bergantung pada sebab dan berapa banyak jaringan rusak. Biasanya, prognosis lebih baik dengan pengobatan.
     
o Penyakit imunodefisiensi ( defisiensi kekebalan)
      Imunodefisiensi adalah suatu keadaan dimana sistem imun tidak berfungsi dengan benar sebagaimana mestinya sebagai sistem pertahanan tubuh manusia.
      Konsep : Kolonel Ogden Brutton 1952.
      Penyakit imunodefisiensi terdapat hampir sebanyak komponen sistem kekebalan itu sendiri. Banyak defisiensi bawaan lahir mempengaruhi fungsi pertahanan kekebalan humoral maupun kekebalan yang diperantarai sel. Dalam imunodefisiensi gabungan yang hebat ( severe combined immunodeficiency, SCID ), kedua cabang sistem kekebalan itu tidak berhasil berfungsi.bagi orang yang mengidap penyakit genetik in, kelangsungan hidup jangka pangajnnya memerlukan transplantasi sumsum yang akan terus menyediakan limfosit fungsional. Untuk jenis SCID, yang disebabkan oleh defisiensi enzim adenosin deaminase ( ADA ), saintis medis telah bekerja untuk mengembangkan terapi gen di mana sel – sel individu itu sendiri dikeluarkan, lalu di berikan gen ADA yang funsional, dan dikembalikan ke dalam tubuh. Pengobatan ini akan menghilangkan bahaya dari penyakit graft versus host ( cangkokan versus inang ). Akan tetapi, hasilnya sampai saat ini belum dapat dipastikan karena pasien juga diberikan tambahan dosis enzim tersebut.
            Imunodefisiensi tidak selalu merupakan suatu kondisi bawaan lahir, seorang individu bisa mengalami difungsi sistem kekebalan di kemudian hari dalam hidupnya. Sebagai contoh, kanker tertentu menekan sistem kekebalan, khususnya penyakit hodgkin, yang merusak sistem limfatik.
      Fungsi kekebalan yang sehat tampakanya bergantung pada sistem endokrin dan sistem saraf. Pada kenyataannya semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa cekaman fisik dan emosional dapat menghancurkan dan merugikan kekebalan. Hormon yang disekresi oleh adrenal selam stres memepengaruhi sejumlah sel – sel darah putih dan dapt menekan sistem kekebalan dengan berbagai cara lain.
      Hubungan antara cekaman emosional dengan fungsi kekebalan juga melibatkan sistem saraf. Beberapa neurotransmeter yangdisekresikan ketika kita sedang santai dan bahagia bisa meningkatkan sistem kekebalan.
     
o HIV/AIDS
      AIDS adalah penyakit imunodefisiensi ( defisiensi kekebalan) yang disebabkan oleh virus. Pada tahun 1981, para perawat dan pekerja kesehatan di Amerika Serikat memperhatikan adanya peningkatan jumlah kasus sarkoma Kaposi, yaitu sejenis kanker kulit dan pembuluh darah, dan pneomonia Pneumocystis carinii, yaitu suatu infeksi akibat protozoa. Peningkatan laju itu dapat terlihat karena kejadian penyakit ini jarang ditemukan di antara populasi umum, penyakit ini diketahui terjadi terutama pada individu yang menderita supresi atau tekanan sistem kekebalan yang sangat hebat. Pengamatan ini mengahantarkan ke apa yang akahirnya dikenal sebagai acquired immunodeficiency syndrome, atau AIDS. Penderita AIDS sangata rentan penyakit oportunistik, yaitu infeksi dan kanker yang mengambil kesempatan saat terjadi kelumpuhan sistem kekebalan. Prtozoa Pneumocystis adalah organisme yang ada di mana – mana, dan organisme itu tidak menyebabakna pneumonia pada orang yang memepunyai sistem kekebalan yang sehat. Pada oarang yang menderita AIDS, penyakit oportunistik, kerusakan nerologis, dan penurunan fisiologis dan berakhir dengan kematian.
      Pada tahun 1983, sejenis retrovirus, yang sekarang disebut sebagai human immunodeficiency virus ( HIV), telah diidentifikasi sebagai agen penyebab AIDS. HIV merupakan patogen paling mematikan yang pernah di ketahui. Virus itu kemungkinan berkembang dari virus alain yang mirip HIV di Afrika tenagh kemungkinan telah menyebabkan kasus infeksi yang tidak dikenal dan AIDS disana selama bertahun – tahun. Virus itu telah diidentifikasi dalam sampel darah yang diawetkan .
     
     
     
     
     
     
     

     
      Terdapat dua galur utama virus itu yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 adalah galur yang paling luas persebarannya dan lebih virulen. Kedua sel- sel  yang mengadung molekul CD4 permukaan. Karena CD4 berfungsi sebagai reseptor utama untuk virus itu, maka sel T helper sangat rentan terhadap infeksi. Sel – sel lain yang lebih mengandung lebih sedikit mengandung CD4, seperti makrofaga dan beberapa limfosit B, juga merupakan sel – sel yang diinfeksi oleh HIV.
      Sel – sel yang paling rentan terhadap patogenesis HIV adalah sel T CDA dan makrofaga. Pada kedua jenis sel itu, masuknya virus tidak hanya memerlukan CDA, namun juga molekul protein kedua yang disebut koreseptor. Koreseptor yang baru – baru ini mencakup fusin, yang ditemukan pada sel T helper, dan CCR5 yang ditemukan pada makrofaga. Fusin dan CCR5 secara normsl berfungsi sebagai reseptor untuk berbagai kemokin. Ternyata memang, sebagian besar partikel HIV yang dihasilkan dalam individu yang terinfeksi paling tidak berbeda sedikit dari firus yang semula menginfeksi. Karena kehadiran virus yang ebrsifat kronis, seseorang terus mempunyai antibodi antiHIV, mungkin sampai tahap akhir AIDS, ketika kedua cabang kekebalan itu ambruk karen kehilangan sel – sel T CD4. Satu kemungkinan adalah bahwa interaksi yang diperantai oleh HIV menginduksi sel T untuk mengalami apoptosis tidak pada waktunya. Apoptosis merupakan suatu mekanisme pengahancuran  diri yang dalam kedaan normal sanggat teratur dan sangat  normal.
      Pada saat ini, infeksi HIV tidak dapat diobati, dan perkembangan HIV menajdi AIDS tidak dapat dicegah. Mesikpun kombinasi obat – obatan baru menunjukkan harapan dalam memperlambat kemajuan ini, pengobatan itu sangat mahal dan tidak tersedia bagi semua orang yang positif HIV. Obat – obatan yang tampakanya memperlambat reflikasi virus ketika digunakan dalam berbagai kombinasi, meliputi inhibitor sintesi DNA, inhibitor transkriptase balik dan yang ketiga adalah suatu kelas obat baru yang disebut inhibitor protease.
      Penularan HIV memerlukan transfer cairan tubuh yang mengdung sel – sel terinfeksi, seperti semen atau darah. Hubungan kelamin yang tidak aman ( yaitu tanpa menggunakan kondom) di antara laki – laki homoseksualv dan penularan melalui jarum suntik yang tidak steril ( kahas pada orang – orang pengguna obat – obatan intravena) merupakan penyebab kasus AIDS paling banyak yang dilaporkan sejauh ini di Amerika Serikat dan Eropa. Akan tetapi, penuularan HIV diantara hetero seksual ssemakin meningkat secara cepat sebagai akibat hubungan kelamin yang tidak terlindungi dengan pasangan yang terenfeksi.
      HIV tidak ditularkan melalui hubungan sosial biasa. Sejauh ini, hanya satu kasus penularan HIV melalui ciuman yang telah dilaporkan, dan baik orang yang menularkan virus itu dan yang menerimanya akan mengalami pendarahan gusi. Kunci untuk mengenali resiko adalah mengingat bahwa virus itu paling baik dtularkan melalui tranfer langsung sel yang terinfeksi, dan hal ini mungkin terjadi ketika darah atau sekresi tubuh dilewati dari satu orang ke orang lain. Penularan ibu ke anak telah  dalam terjadi dua cara yaitu penularan selama perkembangan janin terjadi pada hampir 25% pada ibu yang terinfeksi HIV, dan virus itu dapat juga lewat dari ibu ke anak selama menyusui.
      Pendekatan paling baik untuk memperlambat penyebaran HIV  adalah dengan mendidik orang mengenai praktek – pratek yang menularkan virus itu, seperti penggunaan jarum suntik yang tidak steril dan hubungan kelamin tanpa menggunakan kondom. Meskipun kondom tidak sepenuhnya menghilangkan resiko penularan HIV ( atau virus lain yang ditularkan dengn cara yang serupa, seperti virus hepatitis B), namun kondom dapat menguranginya. Setiap orang yang melaukan kelamin memulai vagina, oral, atau anal dengan pasangan yang sebelumnya mempunyai pengalaman hubungan kelamin yang tidak aman dengan orang lain selam dua dekade sebulmnya mempunyai resiko terpapar ke HIV. 
              
      > Pengujian HIV
- Infeksi HIV dapat diketahui melalui sebuah pengujian antibodi mengenai HIV. Ketika seseorang terinfeksi dengan HIV, antibodinya dihasilkan dalam jangka waktu 3–8 minggu. Tahap berikutnya sebelum antibodi tersebut dapat dideteksi dikenal sebagai "tahap jendela". (window period)
- Pengujian dapat dilakukan dengan mengunakan sampel darah, air liur atau air kencing.
- Pengujian yang cepat ada dan menyediakan suatu hasil diantara 10–20 menit. Suatu hasil positif biasanya menuntut suatu test konfirmatori lebih lanjut.
- Pengujian HIV harus dilakukan sejalan dengan bimbingan sebelum–selama–dan sesudahnya.
     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar